BUDAYA-Tradisi menyiram batu gilang dengan banyu badek (fermentasi tape) setiap tahun di lakukan oleh warga dusun pancot lor dan pancot kidul, kalisoro, tawangmangu, saat perayaan tradisi adat Mondosiyo.
Perayaan adat yang sudah di lakukan secara turun
temurun tersebut bertepatan dengan wuku mondosiyo dalam penanggalan jawa.
Bagi warga di kedua desa tersebut, perayaan
adat mondosiyo tidak hanya sekedar budaya masyarakat local yang harus di
lestarikan, namun lebih dari itu, juga sebagai ungkapan wujud rasa syukur mssyarakat
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan, jika banyak dusun di lereng lawu saat wuku mondosiyo
menggelar tradisi sedekah bumi di punden punden keramat.
Di harapkan melalui tradisi tersebut masyarakat
senantiasa di berikan keberkahan oleh Tuhan lewat alam dan hasil bumi yang ada.
\
Perayaan tradisi adat mondosiyo kata
Sulardiyato, selaku sesepuh warga dusun pancot, berkaitan dengan pepunden yang
ada di pertapaan pringgondani.
Oleh sebab itu mondosiyo tidak hanya di selenggarakan
oleh warga dusun pancot lor dan pancot kidul, namun warga desa yang lain juga
menyelenggarakan tradisi adat yang sama.
Pada acara mondosiya terdapat berbagai rangkaian
ritus yang harus di lakukan, seperti mengundang para jin pedanyangan di empat
pancer, membunyikan gamelan tuk prul kelangenan punden pedanyangan balai
patokan atau punden Prabu Baka, menyiram batu gilang dengan banyu badek dan
menggelar kesenian reog.
Punden balai patokan di kenal juga dengan
sebutan punden Prabu Baka. Nama punden Prabu Baka di sampaikan oleh Gus Dur saat
beliau mengutus salah seorang utusanya mencari sebuah tempat bernama punden Prabu
Baka, yang ternyata punden tersebut adalah punden balai patokan.
Hal itu di sampaikan oleh sesepuh dusun
dalam sebuah kejadian puluhan tahun silam.
Punden balai patokan merupakan petilasan
Prabu Baka yang ada di dusun pancot. Di samping punden balai patokan terdapat punden
batu gilang yang dulu pernah di pakai oleh Jabang Tetuka membunuh Prabu Baka.
Di kisahkan dalam kepercayaan masyarakat sekitar,
pada jaman dahulu berkuasa seorang raja bernama Prabu Baka. Semula rakyat yang
di pimpinya hidup makmur dan sejahtera, akan tetapi kehidupan tersebut hilang setelah
Prabu Baka memiliki kegemaran memakan daging manusia.
Suatu ketika tanpa sadar saat mbok rondo,
abdi dalem juru masak istana yang tengah menyiapakn masakan, jari kelingkingnya
teriris pisau. Irisan daging jari kelingking tersebut tanpa sadar masuk
bercampur sayur dan ikut dimasak. Saat merasakan kelezatan daging yang rasanya
lain daripada yang lain, Prabu Baka menanyakan kepada mbok rondo.
Dari penjelasanya di ketahui bahwa daging
yang di makan oleh Prabu Baka adalah daging jari kelingkingnya. Merasakan kenikmatan
lain daripada yang lain, Prabu Baka lantas setiap hari meminta makan daging
manusia dan rakyatnya di jadikan sebagai korban.
Akibat dari kegemaran makan daging manusia
tersebut, lambat laun rakyatnya habis. Mereka semua melarikan diri pergi dari desa.
Warga yang berhasil lolos dengan selamat berpindah tempat, sedangkan yang
tertangkap di jadikan tumbal.
Sampai akhirnya Prabu Baka meminta jatah
korban dari mbok rondo, putra semata wayangnya yang masih kecil. Sebagai
seorang janda yang hidup sendirian, mbok rondo hanya bisa pasrah dengan keadaan.
Setiap hari bisanya hanya memohon dengan cara berdoa kepada Tuhan agar
diberikan jalan keluar.
Sementara itu di atas gunung nun jauh dari
keramaian, Jabang Tetuka yang berada di pertapaan Pringgondani merasakan
keganjilan melihat desa desa yang ada di bawahnya semakin hari bertambah sepi. Tak
ada lagi kesibukan yang tampak dari kejauhan. Lampu penerangan juga sudah tidak
nampak lagi cahayanya, seluruh dusun menjadi desa mati.
Melihat keanehan tersebut, ia lantas turun
dari pertapan pergi ke desa desa. Saat melintas di dekat rumah mbok rondo, Jabang
Tetuka mendengar keluhan mbok rondo yang tengah berdoa memohon pertolongan Tuhan.
Berasal dari keluhan tersebut Jabang tetuka
mengetahui penyebabnya, jika desa menjadi mati. Ia lantas menemui mbok rondo
dan menyatakan diri menjadi pengganti korban untuk anaknya.
Hingga tiba masa persembahan korban datang,
Jabang Tetuka merubah dirinya menjadi bocah untuk di persembahkan. Prabu Baka
yang melihat kedatangan mbok rombo menuntun anak kesayanganya, hatinya sangat senang.
Ia merasa sebentar lagi akan makan daging manusia yang empuk dan enak.
Smpai saat pengorbanan, bocah kecil yang di
persembahkan tersebut rupanya tidak mempan di makan. Kulitya seperti besi,
ototnya seperti kawat, membuat Prabu Baka kelabakan. Dan pada saatnya bocah
tersebut berubah menjadi Jabang Tetuka.
Mengetahui jika korbanya adalah orang yang
sengaja mempermainkanya, Prabu Baka lantas mengamuk dan terjadilah perkelahian.
Selama lebih dari sepekan keduanya terus bertarung, sampai akhirnya Jabang
Tetuka mengambil batu hitam dari laut Selatan, kemudian di pukulkan ke kepala
Prabu Baka.
Menerima hantaman batu tersebut, kepala Prabu
Baka pecah, darah menyembur keluar membasahi batu hitam. Jabang Tetuka lantas
mencabut taring Prabu Baka, kakinya memancat pundak dan menariknya keluar hingga
mati.
Dari cara menarik dengan di pancat tubuhnya,
tempat dimana peristiwa tersebut terjadi sekarang di berinam dusun pancot. Sedangkan
taringnya di buang dan berubah menjadi tanaman bawang. S
etelah Prabu Baka mati, warga gembira
karena terbebas dari kekejaman Prabu Baka. Kepada seluruh warga yang ada,
sebelum kembali ke pertapan pringgondani Jabang Tetuka berpesan, saat wuku mondosiya
warga di minta menyiram batu gilang dengan banyu badek untuk membersihkan
kotoran darah milik Prabu Baka.
Maka sejak sat itu, tradisi siraman banyu
badek dan berbagai ritual adat lain di gelar oleh warga dusun bertepatan dengn
wuku mondosiya.
Sementara itu yang unik dari tradisi adat mondosiya, ada kemeriahan yang di lakukan oleh warga desa yaitu berebut ayam. Ayam yang di perebutkan jumlahnya mencapai puluhan ekor, berasal dari warga desa yang kabul hajad hajdnya. / (Djk)