Iklan

Menu Bawah

Mondosiya, Tradisi Kearifan Warga Desa Di Lereng Lawu

Kamis, 15 Mei 2025, Mei 15, 2025 WIB Last Updated 2025-05-15T01:49:39Z
                                      Berebut ayam dalam perayaan mondosiya/ foto: MM


BUDAYA-Tradisi menyiram batu gilang dengan banyu badek (fermentasi tape) setiap tahun di lakukan oleh warga dusun pancot lor dan pancot kidul, kalisoro, tawangmangu, saat perayaan tradisi adat Mondosiyo.

 

Perayaan adat yang sudah di lakukan secara turun temurun tersebut bertepatan dengan wuku mondosiyo dalam penanggalan jawa.

 

Bagi warga di kedua desa tersebut, perayaan adat mondosiyo tidak hanya sekedar budaya masyarakat local yang harus di lestarikan, namun lebih dari itu, juga sebagai ungkapan wujud rasa syukur mssyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa.

 

Oleh karena itu tidaklah mengherankan,  jika banyak dusun di lereng lawu saat wuku mondosiyo menggelar tradisi sedekah bumi di punden punden keramat.

 

Di harapkan melalui tradisi tersebut masyarakat senantiasa di berikan keberkahan oleh Tuhan lewat alam dan hasil bumi yang ada.  \

 

Perayaan tradisi adat mondosiyo kata Sulardiyato, selaku sesepuh warga dusun pancot, berkaitan dengan pepunden yang ada di pertapaan pringgondani.

 

Oleh sebab itu mondosiyo tidak hanya di selenggarakan oleh warga dusun pancot lor dan pancot kidul, namun warga desa yang lain juga menyelenggarakan tradisi adat yang sama.

 

Pada acara mondosiya terdapat berbagai rangkaian ritus yang harus di lakukan, seperti mengundang para jin pedanyangan di empat pancer, membunyikan gamelan tuk prul kelangenan punden pedanyangan balai patokan atau punden Prabu Baka, menyiram batu gilang dengan banyu badek dan menggelar kesenian reog.

 

Punden balai patokan di kenal juga dengan sebutan punden Prabu Baka. Nama punden Prabu Baka di sampaikan oleh Gus Dur saat beliau mengutus salah seorang utusanya mencari sebuah tempat bernama punden Prabu Baka, yang ternyata punden tersebut adalah punden balai patokan.

 

Hal itu di sampaikan oleh sesepuh dusun dalam sebuah kejadian puluhan tahun silam.

 

Punden balai patokan merupakan petilasan Prabu Baka yang ada di dusun pancot. Di samping punden balai patokan terdapat punden batu gilang yang dulu pernah di pakai oleh Jabang Tetuka membunuh Prabu Baka.

 

Di kisahkan dalam kepercayaan masyarakat sekitar, pada jaman dahulu berkuasa seorang raja bernama Prabu Baka. Semula rakyat yang di pimpinya hidup makmur dan sejahtera, akan tetapi kehidupan tersebut hilang setelah Prabu Baka memiliki kegemaran memakan daging manusia.

 

Suatu ketika tanpa sadar saat mbok rondo, abdi dalem juru masak istana yang tengah menyiapakn masakan, jari kelingkingnya teriris pisau. Irisan daging jari kelingking tersebut tanpa sadar masuk bercampur sayur dan ikut dimasak. Saat merasakan kelezatan daging yang rasanya lain daripada yang lain, Prabu Baka menanyakan kepada mbok rondo.

 

Dari penjelasanya di ketahui bahwa daging yang di makan oleh Prabu Baka adalah daging jari kelingkingnya. Merasakan kenikmatan lain daripada yang lain, Prabu Baka lantas setiap hari meminta makan daging manusia dan rakyatnya di jadikan sebagai korban.

 

Akibat dari kegemaran makan daging manusia tersebut, lambat laun rakyatnya habis. Mereka semua melarikan diri pergi dari desa. Warga yang berhasil lolos dengan selamat berpindah tempat, sedangkan yang tertangkap di jadikan tumbal.

 

Sampai akhirnya Prabu Baka meminta jatah korban dari mbok rondo, putra semata wayangnya yang masih kecil. Sebagai seorang janda yang hidup sendirian, mbok rondo hanya bisa pasrah dengan keadaan. Setiap hari bisanya hanya memohon dengan cara berdoa kepada Tuhan agar diberikan jalan keluar.

 

Sementara itu di atas gunung nun jauh dari keramaian, Jabang Tetuka yang berada di pertapaan Pringgondani merasakan keganjilan melihat desa desa yang ada di bawahnya semakin hari bertambah sepi. Tak ada lagi kesibukan yang tampak dari kejauhan. Lampu penerangan juga sudah tidak nampak lagi cahayanya, seluruh dusun menjadi desa mati.

 

Melihat keanehan tersebut, ia lantas turun dari pertapan pergi ke desa desa. Saat melintas di dekat rumah mbok rondo, Jabang Tetuka mendengar keluhan mbok rondo yang tengah berdoa memohon pertolongan Tuhan.

 

Berasal dari keluhan tersebut Jabang tetuka mengetahui penyebabnya, jika desa menjadi mati. Ia lantas menemui mbok rondo dan menyatakan diri menjadi pengganti korban untuk anaknya.

 

Hingga tiba masa persembahan korban datang, Jabang Tetuka merubah dirinya menjadi bocah untuk di persembahkan. Prabu Baka yang melihat kedatangan mbok rombo menuntun anak kesayanganya, hatinya sangat senang. Ia merasa sebentar lagi akan makan daging manusia yang empuk dan enak.

 

Smpai saat pengorbanan, bocah kecil yang di persembahkan tersebut rupanya tidak mempan di makan. Kulitya seperti besi, ototnya seperti kawat, membuat Prabu Baka kelabakan. Dan pada saatnya bocah tersebut berubah menjadi  Jabang Tetuka.

 

Mengetahui jika korbanya adalah orang yang sengaja mempermainkanya, Prabu Baka lantas mengamuk dan terjadilah perkelahian. Selama lebih dari sepekan keduanya terus bertarung, sampai akhirnya Jabang Tetuka mengambil batu hitam dari laut Selatan, kemudian di pukulkan ke kepala Prabu Baka.

 

Menerima hantaman batu tersebut, kepala Prabu Baka pecah, darah menyembur keluar membasahi batu hitam. Jabang Tetuka lantas mencabut taring Prabu Baka, kakinya memancat pundak dan menariknya keluar hingga mati.

 

Dari cara menarik dengan di pancat tubuhnya, tempat dimana peristiwa tersebut terjadi sekarang di berinam dusun pancot. Sedangkan taringnya di buang dan berubah menjadi tanaman bawang. S

 

etelah Prabu Baka mati, warga gembira karena terbebas dari kekejaman Prabu Baka. Kepada seluruh warga yang ada, sebelum kembali ke pertapan pringgondani Jabang Tetuka berpesan, saat wuku mondosiya warga di minta menyiram batu gilang dengan banyu badek untuk membersihkan kotoran darah milik Prabu Baka.

 

Maka sejak sat itu, tradisi siraman banyu badek dan berbagai ritual adat lain di gelar oleh warga dusun bertepatan dengn wuku mondosiya.

 

Sementara itu yang unik dari tradisi adat mondosiya, ada kemeriahan yang di lakukan oleh warga desa yaitu berebut ayam. Ayam yang di perebutkan jumlahnya mencapai puluhan ekor, berasal dari warga desa yang kabul hajad hajdnya. / (Djk)

Komentar

Tampilkan

  • Mondosiya, Tradisi Kearifan Warga Desa Di Lereng Lawu
  • 0

Terkini

Topik Populer

Advertisement