![]() |
| imustrasi |
MITOS-Cerita Calonarang dalam khasanah sastra kawi di ketahui memang asli dari Jawa, di masa Pemerintahan Prabu Erlangga di Kerajaan Daha, Kediri. Akan tetapi seiring dengan berjalanya waktu, cerita Calon Arang justru berkembang pesat di Bali.
Hal tersebut tak lepas dari peran penyebaran Hindu Jawa di Bali yang yang
pernah di lakukan para resi dari Jawa pada masa itu.
Dalam manuskrip kuna di kisahkan,
Calon Arang adalah janda dari desa dirah yang memiliki putri bernama Ratna
Manggali. Ia memiliki kesaktian yang sangat tinggi, hanya saja karena terpengaruh
oleh sifat sifatnya yang buruk, Calon Arang kemudian gemar menebar wabah dan teluh
kepada orang orang yang menentangnya.
Gara gara tak ada pria yang mau menikahi putrinya, Calon Arang lantas menebar
kematian kepada orang orang yang tak berdosa di Daha.
Konon sampai sekarang di percaya masih ada segelintir orang yang
mempelajari ilmu kesaktian milik Calonarang. Mitos leak dalam kepercayaan
masyarakat adat konon juga bersumber dari ilmu kesaktian Calon Arang.
Cerita Calon Arang
Di kisahkan pada suatu hari di Pasraman
Lamah Tulis, Empu Barada yang memiliki putri bernama Retna Wedawati tengah
mengajar kepada para murid muridnya. Mpu Barada merupakan sosok pendeta sakti kekasih
para dewa. Ia memiliki ilmu yang sangat tinggi tidak hanya tentang kautaman
dharma kebajikan, namun juga ilmu kesaktian.
Tak seperti hari hari sebelumnya yang selalu penuh dengan kegembiraan.
Pasraman Lemah Tulis saat itu tengah di rundung kesedihan, khususnya Wedawati, karena
ibu yang dia cintai tergolek lemah diatas bale dalam keadaan sakit .
Duduk di samping ibunya sembari menggenggam erat tangan kanannya,
Wedawati menetaskan air mata tak henti hentinya. Ia merasakan ajal ibundanya kian
dekat, tak lama lagi tentu akan di
jemput oleh para dewata. Sehingga Wedawati tak menginginkan perpisahan tersebut
terjadi.
Kesedihan Wedawati juga di rasakan oleh seluruh penduduk Pasraman Lemah
Tulis, yang berupaya memohon kepada Sang Hyang Wisesaning Jagat melalui puja
mantra, agar Nyai Baradah di berikan kesembuhan. Meski doa dan usaha tersebut sudah
dilakukan, namun takdir tak dapat di tolak, kematian tetap akan menjemput semua
orang yang hidup di dunia.
Dan benar adanya, tak selang lama Nyai Baradah menghembuskan nafas terakhir dalam dekapan putri semata wayang
yang sangat mencintainya. Jasad halus Nyai Baradah terbang menuju Nirwana di alam
kelanggengan tempat para dewata berada.
Melihat kematian orang yang sangat di cintai, air mata menetes tak
kunjung henti mengalir di pipi Wedawati, di kejahuan tangis pilu tersebut terdengar
menyayat hati. Kedua tangan Wedawati merangkul jasad ibunya, seakan enggan
berpisah meski maut sudah datang menjemputnya.
‘ Duhh ibu, begitu tega engkau pergi meninggalkan anakmu, siapa yang
akan mengasihiku. Duh Dewa jagat batara, ijinkan aku mati menyusul ibuku’,
jerit Wedawati pilu.
Kesedihan yang di alami Wedawati sejak di tinggal mati ibunya berlarut
hingga berhari hari, ia enggan meninggalkan pasetran tempat jasad sang ibu di makamkan.
Melihat kondisi putri semata wayangnya yang masih larut dalam kesedihan,
Mpu Baradah dengan sabar mengajak putrinya kembali pulang ke Pasraman. Meski
dengan rasa berat hati, akhirnya Wedawati menurut ajakan ayahnya.
Tanpa terasa sejak peristiwa kematian ibunya, rasa sedih di dalam hati
Wedawati sedikit demi sedikit mulai hilang. Hanya sewaktu waktu saja ia
merasakan sepi dan rasa kangen pada ibu tercintanya.
Tak lama sejak kepergian istrinya, Mpu Baradah menikah lagi dan tinggal bersama
di Lemah Tulis. Di pernikahan keduanya ini, Empu Baradah di karuniai seorang
putra laki laki. Seiring dengan berjalanya waktu, semakin hari ia juga semakin
bertambah besar.
Pada suatu
hari saat Empu Barada mengajar sesembahan sesaji kepada para murid muridnya di
pertapan Wisamuka, Wedawati bertengkar dengan ibu tirinya. Hatinya sakit
mendengar ucapan yang menyinggung perasaanya.
Sambil
menangis sesenggukan meneteskan air mata, Wedawati pergi ke pasetran, tempat
jasad ibunya di kuburkan. Namun saat tiba di pemakaman, Wedawati dikagetkan
dengan adanya tiga jasad tergeletak di atas tanah di bawah sebuah pohon
beringin. Jasad seorang perempuan tergeletak di tanah, tubuhnya tampak di
kerubuti oleh semut.
Di atas
dada perempuan yang mati mengenaskan tersebut tampak seorang anak kecil
mendekap menetek ibunya yang sudah mati.
Melihat
pemandangan memilukan tersebut, kesedihan
Wedawati seketika langsung hilang. Di hatinya merasakan bahwa masih ada keadaan
yang jauh lebih menyedihkan dari pada kesedihanya. Jasad orang orang yang
tergeletak di pasetran tersebut tak lain
adalah ulah teluh yang di lakukan oleh seseorang.
Sementara
itu sepulang dari pertapaan, Empu Baradah tak melihat putri kesayanganya berada
di rumah. Ia bertanya kepada istrinya dan di beritahukan , jika Wedawati
bertengkar dengan adiknya lalu pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Mendengar
ucapan istrinya, Empu Baradah lantas menyusul putrinya ke pasetran .
Di Pasetran,
Empu Baradah melihat putrinya merebahkan badan menelungkupi tanah tempat jasad sang
ibu di kuburkan. Duduk bersila di atas batu di samping putrinya, Mpu Baradah berkata,
’ Kematian adalah takdir manusia yang harus di jalani
setiap orang. Setiap manusia kelak juga akan mati menuju Hyang Tunggal. Ihklaskanlah ngger anaku.’. Ujar Mpu Baradah menasehati
putrinya dengan penuh kasih sayang.
Mendengar
nasehat ayahnya, Wedawati sadar, ia kemudian mau diajak kembali pulang kerumah.
Sekembalinya di rumah, Wedawati menyibukan diri dengan belajar ilmu dan
bertapa. Hingga berbulan bulan lamanya kehidupanya tenteram tak ada masalah.
Sampai pada
suatu hari pertengkaran antara Wedawati dengan ibu tirinya terulang lagi, kali
ini ia merasakan hatinya sangat sakit.
Seperti
kebiasaan sebelumnya, jika hatinya sedang
sedih Wedawati pergi ke makam ibunya. Dia menangis memohon hidupnya di akhiri agar bisa bersatu dengan
sang ibu. Empu Baradah yang mengetahui putrinnya bertengkar dengan ibu tirinya
lantas menyusul ke kuburan.
Di hadapan
ayahnya Wedawati menyampaikan, jika dirinya enggan kembali pulang ke Pasraman,
ia memilih tinggal di pasetran di
samping makam ibunya. Mendengar perkataan putrinya, Empu Baradah lantas meminta masyarakat sekitar membuat
gubuk untuk tempat tinggal putrinya. Gubuk yang semula hanya di pakai untuk tempat
berteduh, lambat laun di bangun menjadi bagus, tak ubahnya seperti sanggar pemujaan.
Hidup
dengan penuh ketenteraman di tempat yang
baru, Wedawati setiap hari tekun melakukan puja brata dan bertapa memperdalam
ilmu keutamaan.
Sementara
itu di Kerajaan Daha, Prabu Erlangga
tampak tengah duduk di singgasana mendengarkan laporan para punggawa kerajaan tentang kondisi rakyatnya . Raja Erlangga
meminta laporan hasil tugas prajurit
yang mengemban perintah mendatangi Desa Dirah, tempat tinggal janda
Calon Arang .
Calon Arang
merupakan janda sakti yang memiliki banyak murid. Ia mempunyai pusaka berupa
kitab yang berisi tentang ilmu kesaktian
tingkat tinggi. Kitab tersebut sangat sempurna, sebab di dalamnya berisi hal yang baik dan buruk. Bagi Calon Arang,
kitab tersebut tak hanya pusaka, namun juga jiwa bagi dirinya.
Di
kediamanya di Desa Dirah, Calon Arang mengajar
ilmu kesaktian kepada para murid muridnya, Ia memiliki seorang putri berparas
ayu bernama Retna Manggali. Hanya saja meski Wedawati sudah beranjak dewasa,
tak satupun ada laki laki yang berani mendekatinya, apalagi meminangnya. Para
pria takut dengan watak ibunya yang di kenal bengis, gemar menebar teluh
kematian. Sebab siapapun orangnya yang berurusan dengan Calon Arang di pastikan
akan menemui ajal.
Tak
terkecuali kemarahan Calon Arang saat itu, hanya karena alasan tak ada pria
yang mendekati putrinya, ia lantas mengajak murid muridnya menebar teluh untuk
seluruh warga desa. Calon Arang mengajak
muridnya yang bernama Weksirsa, Maesa Wadana, Lande, Larung Guyang dan Gandhi ke
Candi Durga.
Di depan arca
Durga, Calon Arang membaca kitab pusaka sambil menari mengitari patung Durga.
Beberapa saat ritual puja mantram tersebut di lakukan, tiba tiba dari arca Durga
keluar sosok berwajah menyeramkan. Matanya besar, taring keluar dari mulutnya
dan berambut Panjang. Sosok tersebut tak lain adalah Hyang Durga.
Di depan
Hyang Durga, Calon Arang bersama murid muridnya menyembah sujud. Dahinya
menempel hingga merapat dengan tanah. Sedikitpun para murid muridnya tak ada yang berani bergerak.
“ Hai anak
mami, Calon Arang, ada apa engkau memanggilku dengan mempersembahkan sesaji
puja mantram. Katakanlah wahai anakku’
‘ Sembah bakti
hamba sang Bathari, Mohon berilah ijin kepada
hamba yang akan menyebar wabah kematian
‘ Tutur Calon Arang menyampaikan permohonananya di hadapan Hyang Durga.
‘ Anaku
Calon Arang, aku beri ijin namun jangan orang orang yang ada di dalam kota
praja, hanya mereka yang ada di pinggiran saja.’ Perintah sang Durga memberikan
ijin kepada Calon Arang.
Usai
melakukan puja mantra di Candi Durga, Calon Arang kembali ke Desa Dirah.
Sesampainya ia diperempatan jalan desa, Calon Arang bersama murid muridnya kemudian menggelar
ritual pasang teluh sembari menari melingkar di iringi gamelan kemanak.
Suasana
desa malam itu berubah drastis, hawa malam berubah sangat dingin menyeramkan. Aura
hitam menyelimuti desa desa di pinggiran kota praja. Warga desa tanpa sebab tiba
tiba sakit dan meninggal dunia. Pagi sakit, sore mati. sore sakit, pagi mati.
Banyak anak
kehilangan orang tuanya, banyak orang tua juga kehilangan anak anaknya.
Kematian silih berganti, mayat bergelimpangan di jalan jalan.
Kondisi
kematian warga desa yang tak wajar tersebut akhirnya sampai ke telinga Raja
Erlangga. Di hadapan Raja Erlangga, punggawa kerajaan menceritakan sebab
musabab wabah kematian yang melanda warga desa, tak lain dari ulah Calon Arang
yang memasang teluh, wabah dan pageblug.
Mendengar
keterangan punggawa kerajaan, Raja Erlangga
lantas memerintahkan para prajurit untuk menangkap Calon Arang . Kedatangan
puluhan prajurit di Desa Dirah langsung menuju di kediaman Calon Arang. Kebetulan
saat itu Calon Arang tengah tertidur di
atas bale
Melihat Calon
Arang yang tengah tertidur pulas di atas bale, para prajurit lantas
mengeluarkan pedang untuk berjaga jaga kemudian menangkapnya. Saat pedang akan
di hujamkan ke tubuh Calon Arang, tiba tiba tangan para prajurit kaku tak dapat
di gerakan.
Kemarahan
Calon Arang memuncak, wajahnya berubah merah menyala. Mata, hidung dan
telinganya membara merah menyala membakar para prajurit.
Beberapa prajurit yang berhasil lolos lari tunggang
langgang menyelamatkan diri. Mereka yang berhasil lolos lantas menghadap para
Bupati dan menceritakan peristiwa aneh yang dialaminya. Bahwa tugas yang di
embanya gagal, para prajurit yang bertugas menangkap Calon Arang seluruh
badannya gosong dibakar oleh kemarahan api Calon Arang yang keluar dari mata
dan mulutnya.
Raja yang
mendengarkan pelaporan para punggawa Kerajaan sedih hatinya. Sementara itu
Calon Arang yang mengetahui jika dirinya akan di tangkap oleh Raja Erlangga
akhirnya murka. Sembari membawa kitab pusaka yang sudah menjadi jiwanya, Calon
Arang lantas mengajak para murid muridnya pergi ke pasetran.
Di tengah
tengah pasetran para murid duduk melingkar di bawah pohon kepuh, suasananya
sepi menyeramkan, akar pohon kepuh yang menyulur dari atas dahan merambat
sampai ke tanah yang di penuhi lumut karena lebatnya pohon kepuh. Semua murid terdiam
diri, hanya Si Lendhi yang saat itu berani bertanya kepada gurunya, Calon
Arang.
‘ Kanjeng
Nyai, kados pundi ingkang dados pepuntoning karsandika, rehning pitenah punika
sampun konangan sang aji, boten wande dados gendra. Menawi nyai ngrujuki,
suwasi den unduri mantun naraknyana nuku sukur bage tobato ngungsi dumateng
sang yogi ingkang saget nuntun raharjaning gesang’.
Si Larung
menyambung perkataan Sugal, Ah ora perlu wedi, sing di witiri apa. Wis teles
koq cincing cincing, malah ayo ngayoni njroning negara di tempuh ben modar kabeh sisan, yen nisa
ngisin ngisini, sendayan jroning kedhaton uyha di lunas.
Para murid
yang mendengar usul si Larung semua sepakat, tak terkecuali Nyai Calon Arang
yang kemudian meminta salah satu muridnya menabuh gamelan. Selanjutnya mereka
menari satu persatu, sedangkan Calon Arang hanya melihat kepantasan tarian para
murid muridnya yang akan di ambil paling terbaik untuk patrap memuja mantra
menebar teluh.
Si Guyang
berjalan seperti cebolan sambil menari merentangkan kedua tanganya memutar
mutarkan selendang. Matanya melirik kekanan ke kiri. Si Larung menari sambil
tanganya menggaruk ngaruk tanah dalam keadaan telanjang, matanya melotot,
rambutnya gimbal terurai.
Si Gandhi
menari sambil melompat lompat, rambutnya berada di samping, matanya mendelik
seperti kesurupan. Si Lendhi menari kakinya pincang, rambut di urai, mata merah
melotot, sedangkan si Weksirsa meniru tarian celeng atau babi hutan. Kepalanya
di goyangkan kekiri ke kanan, matanya melotot tidak berkedip, tubuhnya nyaris
telanjang karena pakaianya di robek robek tanganya sendiri.
Maisa
wadana menari seperti layaknya kerbau, kedua kakinya saling bergantian di
angkat satu persatu sambil berjogetan. Lidahnya menjulur keluar, tanganya
mengepal. Meliha tapa yang di lakukan oleh murid muridnya, Calon Arang hatinya
sangat senang sekali tanda perintahnya untuk
menebar teluh di dalam kerajaan akan di mulai.
Calon Arang di gandeng Weksirsa dan Maisa Wadana lantas menuju ke tengah kemudian melakukan puja mantra di tengah komplek pemakaman di samping candhi durga yang angker. Calon Arang mengambil satu jasad yang sudah mati pada hari Sabtu Kliwon kondisinya masih utuh, di pakai untuk sajen para lelembut bekasakan. Jasad tersebut kemudian di letakan di pohon kemudian di manterai dan di tiup. Saat itu juga jasad orang yang sudah mati tersebut tiba tiba hidup kembali. Matanya terbuka, nafasnya terengah engah lalu berkata,’ duh bandara , duh lurah, sampeyan paring gesang welas dumateng pun abdi. Ulun ngraos kapotangan mboten saget anyauri’.Weksirsa lantas menyahut perkataan si mayat, ‘ Kowe arep urip tulus i
ku ta luwih gampang, gulumu
tak tugel disik.’ Usai berkata, Weksirsa langsung menghunus senjata menebas
kepala sang mayit. Tangan Weksirsa memegang rambut kepala si mayat agar tidak
jatuh, darah seketika menyembur keluar ke atas untuk keramas rambut gimbal dan
usus yang menjulur di sampirkan di atas Pundak.
Gembung
atau potongan badan sang mayit di bawa untuk sajen Hyang Bathari Durga. Tak
selang lama Sang Hyang Bagawati berkata’ Hai Calon Arang sira tur atur sesaji
banget tarima mami la napa kang sira suwun. ‘
Nuwun
inggih kawula angsala ijin bathari, hamba bade damel pageblug ketigan dumugi
sak nglebeting praja, awit ingkang gadah nagari sang maha Prabu Erlangga,
sanget runtik mring pun patik utusan mrejaya. Mila ulun sanget nuwun ing sih
idi paduka ‘.
‘Iya
ingsung angidini nanging sira ngati atia den yitna’.
Usia
memberikan ijin, Bathari Durga kemudian muksa. Calon Arang kemudian menebar
teluh, wabah dan pageblug. Wabah penyakit menyebar ke dalam Kerajaan, membuat
geger seluruh Kerajaan. Kematian silih berganti tanpa waktu, suara tangisan dan
jeritan tiada henti menyayat hati.
Banyak
orang sakit dan mati tanpa sempat di rawat. Mereka yang sakit kena teluh, wabah
dan pagebluk hanya bisa berjalan merangkak dalam keadaan sekarat. Merintih kesakitan
tak berujung sebab, yang sekarat kerot merot, mulutnya menganga menunggu ajal.
Suara burung malam semakin membuat suasana Kerajaan menyayat, suara belalang seakan menambah sayatan tangis orang orang yang sekarat. Ribuan lalat terbang mengitasi mayat mayat yang tergeletak mati.
Setan setan berkata menipu ‘ e aja padha lunga, desamu iki wis becik, balia aja wedi wis ora ana pageblug’. Suara setan menghasut agar wabah teluh yang di sebar Calon Arang terus memakan korban.
Weksirsa dan maisa wadana masuk kedalam panti melalui tutup atap keyongan turun di peristirahatan mengambil sajen getih mentah daging mentah dan teluh justru semakin mewabah tiada henti. Tak bisa di tolak membuat sengsara orang orang satu negeri. Para punggawa tak mampu mengatasi, mereka juga terkena wabah teluh.
( bersambung)
Tok
