Iklan

Menu Bawah

Calonarang : Ratu Teluh Dari Dirah ( 1)

Jumat, 02 Mei 2025, Mei 02, 2025 WIB Last Updated 2025-05-15T02:14:40Z

 

imustrasi

MITOS-Cerita Calonarang dalam khasanah sastra kawi di ketahui memang asli dari Jawa, di masa Pemerintahan Prabu Erlangga di Kerajaan Daha, Kediri. Akan tetapi seiring dengan berjalanya waktu, cerita Calon Arang justru berkembang pesat di Bali.


Hal tersebut tak lepas dari peran penyebaran Hindu Jawa di Bali yang yang pernah di lakukan para resi dari Jawa pada masa itu.


Dalam  manuskrip kuna di kisahkan, Calon Arang adalah janda dari desa dirah yang memiliki putri bernama Ratna Manggali. Ia memiliki kesaktian yang sangat tinggi, hanya saja karena terpengaruh oleh sifat sifatnya yang buruk, Calon Arang kemudian gemar menebar wabah dan teluh kepada orang orang yang menentangnya.


Gara gara tak ada pria yang mau menikahi putrinya, Calon Arang lantas menebar kematian kepada orang orang yang tak berdosa di Daha.


Konon sampai sekarang di percaya masih ada segelintir orang yang mempelajari ilmu kesaktian milik Calonarang. Mitos leak dalam kepercayaan masyarakat adat konon juga bersumber dari ilmu kesaktian Calon Arang.


Cerita Calon Arang

Di kisahkan pada suatu hari di  Pasraman Lamah Tulis, Empu Barada yang memiliki putri bernama Retna Wedawati tengah mengajar kepada para murid muridnya. Mpu Barada merupakan sosok pendeta sakti kekasih para dewa. Ia memiliki ilmu yang sangat tinggi tidak hanya tentang kautaman dharma kebajikan, namun juga ilmu kesaktian.


Tak seperti hari hari sebelumnya yang selalu penuh dengan kegembiraan. Pasraman Lemah Tulis saat itu tengah di rundung kesedihan, khususnya Wedawati, karena ibu yang dia cintai tergolek lemah diatas bale dalam keadaan sakit .


Duduk di samping ibunya sembari menggenggam erat tangan kanannya, Wedawati menetaskan air mata tak henti hentinya. Ia merasakan ajal ibundanya kian dekat, tak  lama lagi tentu akan di jemput oleh para dewata. Sehingga Wedawati tak menginginkan perpisahan tersebut terjadi.


Kesedihan Wedawati juga di rasakan oleh seluruh penduduk Pasraman Lemah Tulis, yang berupaya memohon kepada Sang Hyang Wisesaning Jagat melalui puja mantra, agar Nyai Baradah di berikan kesembuhan. Meski doa dan usaha tersebut sudah dilakukan, namun takdir tak dapat di tolak, kematian tetap akan menjemput semua orang yang  hidup di dunia. 


Dan benar adanya, tak selang lama Nyai Baradah menghembuskan nafas  terakhir dalam dekapan putri semata wayang yang sangat mencintainya. Jasad halus Nyai Baradah terbang menuju Nirwana di alam kelanggengan tempat para dewata berada.


Melihat kematian orang yang sangat di cintai, air mata menetes tak kunjung henti mengalir di pipi Wedawati, di kejahuan tangis pilu tersebut terdengar menyayat hati. Kedua tangan Wedawati merangkul jasad ibunya, seakan enggan berpisah meski maut sudah datang menjemputnya.


‘ Duhh ibu, begitu tega engkau pergi meninggalkan anakmu, siapa yang akan mengasihiku. Duh Dewa jagat batara, ijinkan aku mati menyusul ibuku’, jerit Wedawati pilu.


Kesedihan yang di alami Wedawati sejak di tinggal mati ibunya berlarut hingga berhari hari, ia enggan meninggalkan pasetran tempat jasad sang ibu di makamkan.


Melihat kondisi putri semata wayangnya yang masih larut dalam kesedihan, Mpu Baradah dengan sabar mengajak putrinya kembali pulang ke Pasraman. Meski dengan rasa berat hati, akhirnya Wedawati menurut ajakan ayahnya.


Tanpa terasa sejak peristiwa kematian ibunya, rasa sedih di dalam hati Wedawati sedikit demi sedikit mulai hilang. Hanya sewaktu waktu saja ia merasakan sepi dan rasa kangen pada ibu tercintanya.


Tak lama sejak kepergian istrinya, Mpu Baradah menikah lagi dan tinggal bersama di Lemah Tulis. Di pernikahan keduanya ini, Empu Baradah di karuniai seorang putra laki laki. Seiring dengan berjalanya waktu, semakin hari ia juga semakin bertambah besar. 


Pada suatu hari saat Empu Barada mengajar sesembahan sesaji kepada para murid muridnya di pertapan Wisamuka, Wedawati bertengkar dengan ibu tirinya. Hatinya sakit mendengar ucapan yang menyinggung perasaanya.  


Sambil menangis sesenggukan meneteskan air mata, Wedawati pergi ke pasetran, tempat jasad ibunya di kuburkan. Namun saat tiba di pemakaman, Wedawati dikagetkan dengan adanya tiga jasad tergeletak di atas tanah di bawah sebuah pohon beringin. Jasad seorang perempuan tergeletak di tanah, tubuhnya tampak di kerubuti oleh semut.


Di atas dada perempuan yang mati mengenaskan tersebut tampak seorang anak kecil mendekap  menetek ibunya yang sudah mati.


Melihat pemandangan memilukan tersebut,  kesedihan Wedawati seketika langsung hilang. Di hatinya merasakan bahwa masih ada keadaan yang jauh lebih menyedihkan dari pada kesedihanya. Jasad orang orang yang tergeletak di pasetran tersebut  tak lain adalah ulah teluh yang di lakukan oleh seseorang.


Sementara itu sepulang dari pertapaan, Empu Baradah tak melihat putri kesayanganya berada di rumah. Ia bertanya kepada istrinya dan di beritahukan , jika Wedawati bertengkar dengan adiknya lalu pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Mendengar ucapan istrinya, Empu Baradah lantas menyusul putrinya ke pasetran .


Di Pasetran, Empu Baradah melihat putrinya merebahkan badan menelungkupi tanah tempat jasad sang ibu di kuburkan. Duduk bersila di atas batu di samping putrinya, Mpu Baradah  berkata,


’ Kematian  adalah takdir manusia yang harus di jalani setiap orang. Setiap manusia kelak juga akan mati menuju Hyang Tunggal.  Ihklaskanlah ngger anaku.’. Ujar Mpu Baradah menasehati putrinya dengan penuh kasih sayang.


Mendengar nasehat ayahnya, Wedawati sadar, ia kemudian mau diajak kembali pulang kerumah. Sekembalinya di rumah, Wedawati menyibukan diri dengan belajar ilmu dan bertapa. Hingga berbulan bulan lamanya kehidupanya tenteram tak ada masalah.


Sampai pada suatu hari pertengkaran antara Wedawati dengan ibu tirinya terulang lagi, kali ini ia merasakan hatinya sangat sakit.


Seperti kebiasaan sebelumnya,  jika hatinya sedang sedih Wedawati pergi ke makam ibunya. Dia menangis memohon  hidupnya di akhiri agar bisa bersatu dengan sang ibu. Empu Baradah yang mengetahui putrinnya bertengkar dengan ibu tirinya lantas menyusul ke kuburan.


Di hadapan ayahnya Wedawati menyampaikan, jika dirinya enggan kembali pulang ke Pasraman, ia  memilih tinggal di pasetran di samping makam ibunya. Mendengar perkataan putrinya, Empu Baradah  lantas meminta masyarakat sekitar membuat gubuk untuk tempat tinggal putrinya. Gubuk yang semula hanya di pakai untuk tempat berteduh, lambat laun di bangun menjadi bagus, tak ubahnya seperti sanggar pemujaan.


Hidup dengan penuh ketenteraman  di tempat yang baru, Wedawati setiap hari tekun melakukan puja brata dan bertapa memperdalam ilmu keutamaan.


Sementara itu di Kerajaan  Daha, Prabu Erlangga tampak tengah duduk di singgasana mendengarkan laporan para punggawa kerajaan  tentang kondisi rakyatnya . Raja Erlangga meminta laporan hasil tugas  prajurit  yang mengemban perintah mendatangi Desa Dirah, tempat tinggal janda Calon Arang .


Calon Arang merupakan janda sakti yang memiliki banyak murid. Ia mempunyai pusaka berupa kitab yang berisi tentang  ilmu kesaktian tingkat tinggi. Kitab tersebut sangat sempurna, sebab di dalamnya berisi  hal yang baik dan buruk. Bagi Calon Arang, kitab tersebut tak hanya pusaka, namun juga jiwa bagi dirinya.


Di kediamanya di Desa Dirah, Calon Arang  mengajar ilmu kesaktian kepada para murid muridnya, Ia memiliki seorang putri berparas ayu bernama Retna Manggali. Hanya saja meski Wedawati sudah beranjak dewasa, tak satupun ada laki laki yang berani mendekatinya, apalagi meminangnya. Para pria takut dengan watak ibunya yang di kenal bengis, gemar menebar teluh kematian. Sebab siapapun orangnya yang berurusan dengan Calon Arang di pastikan akan menemui ajal.


Tak terkecuali kemarahan Calon Arang saat itu, hanya karena alasan tak ada pria yang mendekati putrinya, ia lantas mengajak murid muridnya menebar teluh untuk seluruh warga desa.  Calon Arang mengajak muridnya yang bernama Weksirsa, Maesa Wadana, Lande, Larung Guyang dan Gandhi ke Candi  Durga.


Di depan arca Durga, Calon Arang membaca kitab pusaka sambil menari mengitari patung Durga. Beberapa saat ritual puja mantram tersebut di lakukan, tiba tiba dari arca Durga keluar sosok berwajah menyeramkan. Matanya besar, taring keluar dari mulutnya dan berambut Panjang. Sosok tersebut tak lain adalah Hyang Durga.


Di depan Hyang Durga, Calon Arang bersama murid muridnya menyembah sujud. Dahinya menempel hingga merapat dengan tanah. Sedikitpun para murid muridnya  tak ada yang berani bergerak.


“ Hai anak mami, Calon Arang, ada apa engkau memanggilku dengan mempersembahkan sesaji puja mantram. Katakanlah wahai anakku’


‘ Sembah bakti hamba sang Bathari, Mohon  berilah ijin kepada hamba yang  akan menyebar wabah kematian ‘ Tutur Calon Arang menyampaikan permohonananya di hadapan Hyang Durga.


‘ Anaku Calon Arang, aku beri ijin namun jangan orang orang yang ada di dalam kota praja, hanya mereka yang ada di pinggiran saja.’ Perintah sang Durga memberikan ijin kepada Calon Arang.


Usai melakukan puja mantra di Candi Durga, Calon Arang kembali ke Desa Dirah. Sesampainya ia diperempatan jalan desa, Calon Arang  bersama murid muridnya kemudian menggelar ritual pasang teluh sembari menari melingkar di iringi gamelan kemanak.


Suasana desa malam itu berubah drastis, hawa malam berubah sangat dingin menyeramkan. Aura hitam menyelimuti desa desa di pinggiran kota praja. Warga desa tanpa sebab tiba tiba sakit dan meninggal dunia. Pagi sakit, sore mati. sore sakit, pagi mati.


Banyak anak kehilangan orang tuanya, banyak orang tua juga kehilangan anak anaknya. Kematian silih berganti, mayat bergelimpangan di jalan jalan.


Kondisi kematian warga desa yang tak wajar tersebut akhirnya sampai ke telinga Raja Erlangga. Di hadapan Raja Erlangga, punggawa kerajaan menceritakan sebab musabab wabah kematian yang melanda warga desa, tak lain dari ulah Calon Arang yang memasang  teluh, wabah dan pageblug.


Mendengar keterangan punggawa  kerajaan, Raja Erlangga lantas memerintahkan para prajurit untuk menangkap Calon Arang . Kedatangan puluhan prajurit di Desa Dirah langsung menuju di kediaman Calon Arang. Kebetulan saat itu Calon Arang tengah  tertidur di atas bale


Melihat Calon Arang yang tengah tertidur pulas di atas bale, para prajurit lantas mengeluarkan pedang untuk berjaga jaga kemudian menangkapnya. Saat pedang akan di hujamkan ke tubuh Calon Arang, tiba tiba tangan para prajurit kaku tak dapat di gerakan.


Kemarahan Calon Arang memuncak, wajahnya berubah merah menyala. Mata, hidung dan telinganya membara merah menyala membakar para prajurit.


Beberapa  prajurit yang berhasil lolos lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Mereka yang berhasil lolos lantas menghadap para Bupati dan menceritakan peristiwa aneh yang dialaminya. Bahwa tugas yang di embanya gagal, para prajurit yang bertugas menangkap Calon Arang seluruh badannya gosong dibakar oleh kemarahan api Calon Arang yang keluar dari mata dan mulutnya.


Raja yang mendengarkan pelaporan para punggawa Kerajaan sedih hatinya. Sementara itu Calon Arang yang mengetahui jika dirinya akan di tangkap oleh Raja Erlangga akhirnya murka. Sembari membawa kitab pusaka yang sudah menjadi jiwanya, Calon Arang lantas mengajak para murid muridnya pergi ke pasetran.


Di tengah tengah pasetran para murid duduk melingkar di bawah pohon kepuh, suasananya sepi menyeramkan, akar pohon kepuh yang menyulur dari atas dahan merambat sampai ke tanah yang di penuhi lumut karena lebatnya pohon kepuh. Semua murid terdiam diri, hanya Si Lendhi yang saat itu berani bertanya kepada gurunya, Calon Arang.


‘ Kanjeng Nyai, kados pundi ingkang dados pepuntoning karsandika, rehning pitenah punika sampun konangan sang aji, boten wande dados gendra. Menawi nyai ngrujuki, suwasi den unduri mantun naraknyana nuku sukur bage tobato ngungsi dumateng sang yogi ingkang saget nuntun raharjaning gesang’.


Si Larung menyambung perkataan Sugal, Ah ora perlu wedi, sing di witiri apa. Wis teles koq cincing cincing, malah ayo ngayoni njroning negara  di tempuh ben modar kabeh sisan, yen nisa ngisin ngisini, sendayan jroning kedhaton uyha di lunas.


Para murid yang mendengar usul si Larung semua sepakat, tak terkecuali Nyai Calon Arang yang kemudian meminta salah satu muridnya menabuh gamelan. Selanjutnya mereka menari satu persatu, sedangkan Calon Arang hanya melihat kepantasan tarian para murid muridnya yang akan di ambil paling terbaik untuk patrap memuja mantra menebar teluh.


Si Guyang berjalan seperti cebolan sambil menari merentangkan kedua tanganya memutar mutarkan selendang. Matanya melirik kekanan ke kiri. Si Larung menari sambil tanganya menggaruk ngaruk tanah dalam keadaan telanjang, matanya melotot, rambutnya gimbal terurai.  


Si Gandhi menari sambil melompat lompat, rambutnya berada di samping, matanya mendelik seperti kesurupan. Si Lendhi menari kakinya pincang, rambut di urai, mata merah melotot, sedangkan si Weksirsa meniru tarian celeng atau babi hutan. Kepalanya di goyangkan kekiri ke kanan, matanya melotot tidak berkedip, tubuhnya nyaris telanjang karena pakaianya di robek robek tanganya sendiri.


Maisa wadana menari seperti layaknya kerbau, kedua kakinya saling bergantian di angkat satu persatu sambil berjogetan. Lidahnya menjulur keluar, tanganya mengepal. Meliha tapa yang di lakukan oleh murid muridnya, Calon Arang hatinya sangat senang sekali tanda perintahnya untuk  menebar teluh di dalam kerajaan akan di mulai. 


Calon Arang di gandeng Weksirsa dan Maisa Wadana lantas menuju ke tengah kemudian melakukan puja mantra di tengah komplek pemakaman di samping candhi durga yang angker. Calon Arang mengambil satu jasad yang sudah mati pada hari Sabtu Kliwon kondisinya masih utuh, di pakai untuk sajen para lelembut bekasakan. Jasad tersebut kemudian di letakan di pohon kemudian di manterai dan di tiup. Saat itu juga jasad orang yang sudah mati tersebut tiba tiba hidup kembali. Matanya terbuka, nafasnya terengah engah lalu berkata,’ duh bandara , duh lurah, sampeyan paring gesang welas dumateng pun abdi. Ulun ngraos kapotangan mboten saget anyauri’.Weksirsa lantas menyahut perkataan si mayat, ‘ Kowe arep urip tulus i


ku ta luwih gampang, gulumu tak tugel disik.’ Usai berkata, Weksirsa langsung menghunus senjata menebas kepala sang mayit. Tangan Weksirsa memegang rambut kepala si mayat agar tidak jatuh, darah seketika menyembur keluar ke atas untuk keramas rambut gimbal dan usus yang menjulur di sampirkan di atas Pundak.


Gembung atau potongan badan sang mayit di bawa untuk sajen Hyang Bathari Durga. Tak selang lama Sang Hyang Bagawati berkata’ Hai Calon Arang sira tur atur sesaji banget tarima mami la napa kang sira suwun. ‘


Nuwun inggih kawula angsala ijin bathari, hamba bade damel pageblug ketigan dumugi sak nglebeting praja, awit ingkang gadah nagari sang maha Prabu Erlangga, sanget runtik mring pun patik utusan mrejaya. Mila ulun sanget nuwun ing sih idi paduka ‘.


‘Iya ingsung angidini nanging sira ngati atia den yitna’.   


Usia memberikan ijin, Bathari Durga kemudian muksa. Calon Arang kemudian menebar teluh, wabah dan pageblug. Wabah penyakit menyebar ke dalam Kerajaan, membuat geger seluruh Kerajaan. Kematian silih berganti tanpa waktu, suara tangisan dan jeritan tiada henti menyayat hati.


Banyak orang sakit dan mati tanpa sempat di rawat. Mereka yang sakit kena teluh, wabah dan pagebluk hanya bisa berjalan merangkak dalam keadaan sekarat. Merintih kesakitan tak berujung sebab, yang sekarat kerot merot, mulutnya menganga menunggu ajal.

Suara burung malam semakin membuat suasana Kerajaan menyayat, suara belalang seakan menambah sayatan tangis orang orang yang sekarat. Ribuan lalat terbang mengitasi mayat mayat yang tergeletak mati.


Setan setan berkata menipu ‘ e aja padha lunga, desamu iki wis becik, balia aja wedi wis ora ana pageblug’. Suara setan menghasut agar wabah teluh yang di sebar Calon Arang terus memakan korban.


Weksirsa dan maisa wadana masuk kedalam panti melalui tutup atap keyongan turun di peristirahatan mengambil sajen getih mentah daging mentah dan teluh justru semakin mewabah tiada henti. Tak bisa di tolak membuat sengsara orang orang satu negeri. Para punggawa tak mampu mengatasi, mereka juga terkena wabah teluh.

 ( bersambung)

Tok

Komentar

Tampilkan

  • Calonarang : Ratu Teluh Dari Dirah ( 1)
  • 0

Terkini

Topik Populer

Advertisement