Kalung beruntai berisi rangkaian
bola kecil yang terbuat dari kayu, batu atau biji bijian, di kalangan umat
muslim di kenal dengan nama biji tasbih atau kerap di singkat menjadi tasbih.
Nama itu memiliki makna ucapan atau kalimat yang di sukai Allah SWT. Sehingga
apabila mengucapkan kalimat tersebut, Allah akan memberikan pahala kebaikan.
Di negara Arab, biji
tasbih dikenal dengan beragam nama antara lain, subhah, misbahah, tasaabih,
nizaam. Sedangkan orang orang sufi menyebut untaian biji tasbih dengan al
mudzakkirah billah atau pengingat kepada Allah, raabitatul
qulub atau pengikat hati, dan hablul washl ( sauth
asy syaithan atau cambuk setan).
Umumnya kalung biji tasbih terdiri dari 99 bola
tasbih yang melambangkan 99 asma Allah. Namun ada pula biji tasbih yang berisi 33
biji. Tak jarang ada juga yang berisi 1000 biji yang dibuat dari bahan kayu dan
batu.
Asal mula sejarah pembuatan tasbih sampai saat ini
memang belum jelas di ketahui, akan tetapi penggunaan awalnya, diambil dari
berbagai sumber literasi, dapat dilacak dalam
agama Hindu di India.
Selanjutnya Budha yang kemungkinan meminjam konsep
agama Hindu, karena dalam sebuah jejak artefak, terdapat patung pria suci Hindu
mengenakan manik manik berasal pada abad 3 SM.
Kemudian menurut Syekh Bakr bin Abdillah Abu Zaid dikatakan,
biji tasbih sudah dikenal pada zaman
sebelum Islam, tepatnya digunakan oleh
umat Budha yang di yakini selalu menggunakan tasbih untuk menyelaraskan antara
perbuatan dan ucapannya ketika sedang melakukan ritus sembahyang.
Perkembangan tasbih yang pesat terjadi pada abad 15
M dan 16 M yang kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Di Indonesia tasbih tidak hanya sekedar kalung untuk
berzikir, namun dalam budaya masyarakat Nusantara, tasbih juga di yakini memiliki
energi positif yang mampu membawa orang yang berdzikir ke puncak keheningan
fana.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika banyak pelaku
spiritual memanfaatkan energi alam dari kayu dan batu untuk membuat biji
tasbih. Sebab dengan adanya energi alam yang menyertai biji tasbih, keselarasan
rohani hubungan manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan Sang Maha Pencipta
akan mudah terjalin saat berdzikir.
Oleh sebab itu banyak orang memanfaatkan kayu kayu
bertuah untuk membuat biji tasbih seperti kayu stigi, kayu dewadaru, kayu
lewung, kayu nogosari, kayu gaharu, kayu klampis ireng, kayu kelor, galih asem
dan kayu kayu bertuah lainya.
Tak jarang ada juga yang
mengkombinasikan kayu kayu bertuah tersebut menjadi untaian kalung biji tasbih.
Seperti halnya campuran kayu dewadaru dan kayu stigi yang di percaya memiliki energi
mempercepat konsentrasi dalam berdzikir.
Kayu stigi dan kayu klampis ireng
di percaya oleh para rokoh spiritual memiliki energi positif menghilangkan aura negative yang
menghambat konsentrasi dan kerohanian orang yang sedang berdzikir. Sekaligus menangkal
gangguan jin dan lelembut saat berdzikir.
Khasiat kayu stigi di percaya dapat
menangkal ilmu hitam dan segala energi negatif lainnya. Juga untuk meningkatkan kekuatan tubuh, media
pengasihan, melumpuhkan orang yang berniat jahat, dan menyerap berbagai bisa
dan racun binatang.
Kasiat kayu tersebut akan semakin
kuat jika di satukan dengan energi kayu klampis ireng yang di percaya merupakan
kayu kelangenan Sang Hyang Ismaya atau Semar.
Kombinasi kekuatan metafisik tersebut
bukan karena isian energi seseorang, jin dan mahluk ghaib lainya, namun murni
dari anasir alam yang membentuk energi metafisik sehingga memiliki daya
kekuatan yang sangat luar biasa.
Masyarakat Nusantara meyakini, alam menyediakan semua kebutuhan manusia tidak hanya untuk sandang dan pangan, namun juga sarana kerohanian. Hal itu menunjukan kuasa Allah yang begitu besar di alam semesta ini, sehingga semua ciptaanNya memiliki manfaat bagi keseimbangan mahkluk hidup di alam semesta. / Pratiwo
