Alas Ketonggo
Tempat Keramat - Palereman Alas Ketonggo merupakan satu dari sekian banyak peninggalan Majapahit, yang hingga kini masih tetap terus di keramatkan. Keyakinan kekeramatan ini tidak hanya di dasari dari mitos cerita ghaib dan keangkeran Alas Ketonggo saja, namun dikalangan para pelaku spiritual, konon di tempat tersebut berdiri sebuah keraton ghaib yang sangat megah.
Sehingga hanya kalangan tertentu saja yang mampu melihat wujud keraton ghaib tersebut.
Situs bersejarah yang dikenal dengan nama Palereman Alas Ketonggo menurut cerita, menjadi tempat pelarian terakhir Prabu Brawijaya V sebelum akhirnya ia muksa di puncak Gunung Lawu.
Di dalam kawasan hutan lindung KPH.Ngawi banyak sekali dijumpai peninggalan bersejarah diantaranya, gua, sanggar palereman, serta petilasan petilasan lainya yang sampai saat ini masih terus dikeramatkan.
Dari seluruh peninggalan yang ada, di yakini semuanya masih memiliki keterkaitan dengan sejarah peradaban Majapahit. Sedangkan tempat-tempat keramat tersebut sekarang sering dipakai untuk kegiatan ritual dan ngalap berkah.
Tak jarang Palereman Alas Ketonggo juga dipakai untuk semedi, mencari whisik perjalanan bangsa ini ke depan.
Tetapi lebih dari itu, secara alami Palereman Alas Ketonggo juga sering menunjukan tanda-tanda perubahan alam, tentang apa yang akan terjadi terhadap perjalanan bangsa ini di masa yang akan datang.
Whisik perlambang yang di berikan oleh Tuhan dapat di rasakan melalui tanda tanda alam di Alas Ketonggo, seperti halnya saat salah satu pohon tua ratusan tahun tiba tiba roboh tanpa sebab.
Tanda tanda tersebut banyak di yakini akan menyangkut suatu kejadian yang akan terjadi di masa yang akan datang. Akan tetapi tidak semua orang tentunya mampu menangkap perlambang yang datang di Alas Ketonggo. Hanya mereka yang peka mata bathin rohaninya saja yang mampu menangkap tanda tanda tersebut.
Perlambang yang datang ini tentu wujud kebesaran Allah SWT, bahwa seluruh ciptaan-Nya dapat menjadi sarana manifestasi kekuasaan-Nya.
Palenggahan Srigati
Marji, juru kunci Alas Ketonggo yang sejak tahun 1973 menjalani laku di Alas Ketonggo mengatakan, wujud asli Alas Ketonggo yang sebenarnya adalah karaton ghaib, tetapi tak bisa dilihat secara kasad mata. Hanya mereka yang memiliki kewaskitaan saja yang mampu melihat di dalam Alas Ketonggo. Pintu gerbang Palereman Alas Ketonggo sebenarnya gerbang masuk menuju karaton gaib.
Oleh karena itu secara urut urutan seseorang yang hendak berkunjung ritual di alas ketonggo, lebih dulu mereka harus melewati Palereman ageng Srigati, tempat pelenggahan Prabu Brawijaya saat melepas seluruh pakaian kebesaran raja.
Dari sekian banyak petilasan yang sering dikunjungi para pelaku ritual, hanya Palereman Ageng Srigati, petilasan eyang Sabdopalon Noyogenggong dan juga Kali tempur yang sering dijadikan tempat laku prihatin.
Meski beberapa tempat lainya seperti umbul jambe juga sering di datangi para pelaku ritual yang ingin menjalani laku kungkum, tetapi tak seperti yang ada di Palenggahan Ageng Srigati.
“ Beberapa pakaian dan mahkota raja ditinggalkan di Palenggahan Srigati’ Jelas mbah Marji.
Menurut penjelasan Mbah Marji, juru kunci yang sering di sebut Ki Among Jati di kalangan p
ara praktisi spiritual di ceritakan, selain mahkota raja, baju dan songsong payung, juga ada patung kayu berbentuk raja yang pernah di buat oleh para tokoh spiritual.
Tak terkecuali gundukan tanah yang ada di dalam Palenggehan Srigati.
Gundukan tanah tersebut tak seperti gundukan pada umumnya. Selain dianggap keramat juga sering diambil untuk ngalap berkah sarana dan media penyembuhan yang berkaitan dengan non medis.
Tetapi lebih dari itu, gundukan tanah yang ada di dalam Palenggahan Ageng Srigati konon juga kerap di pakai untuk mengetahui berbegai hal berkaitan dengan kejadian dimasa yang akan mendatang.
Gundukan tanah tersebut setiap tahun terus bertambah. Dulu ada empat gundukan yang menyatu menjadi satu. Bertambahnya gundukan tanah di salah satu bagian, tiap lima tahun sekali akan menjadi pertanda ke arah mana akan terjadi suatu perubahan.
Tanda tersebut adalah perubahan yang mengarah kebaikan apabila tanah yang ada di dalam pelenggahan Srigati tetap utuh seperti sediakala, namun akan menjadi pertanda buruk atau bencana jika gundukan tanah tiba tiba rengkah hancur.
Sebagai contoh, ketika akan terjadi bencana tsunami Aceh beberapa tahun silam. Gundukan tanah yang ada di sisi utara tiba tiba hancur berantakan, itu di jadikan pertanda akan terjadinya sebuah bencana alam yang sangat besar.
Meski kejadian tersebut merupakan kodrat dari alam, namun alam juga telah memberi tanda yang seharusnya manusia lebih waspada. Tanda-tanda tersebut biasanya di barengi dengan di terimanya wisik ghaib untuk orang tertentu saat ia menjalani laku di Alas Ketonggo.
Whisik ghaib yang di berikan sebenarnya wujud kepedulian para leluhur yang masih peduli kepada para anak cucunya, Meski kepedulian itu sekarang tak pernah lagi di hiraukan oleh para penerusnya.
Bangsa ini seakan hanya milik manusia yang masih hidup, penguasa dan rakyat. Padahal tak bisa dipungkiri, bahwa perjalanan bangsa ini di masa lampau dibangun oleh para leluhur winasis yang telah membuat jati diri bangsa sehingga di akui kebesaran peradabanya.
Oleh sebab itu sudah sepantasnya kita terus bersyukur kepada Tuhan, bahwa para leluhur sudi menjaga dan memelihara keseimbangan alam bumi nusantara, meski mereka telah lama tiada. Banyak orang beranggapan, leluhur yang sudah mati tak lagi bisa berhubungan dengan anak cucunya.
Padahal dalam budaya masyarakat nusantara, kita di ajarkan selalu ingat dan dekat dengan para leluhur.
Oleh sebab itu adanya tanda alam perubahan yang kerap terjadi di Palenggahan Ageng Srigati, sebenarnya wujud kepedulian para leluhur di alam roh terhadap anak cucunya. Sekaligus wujud kekuasaan Tuhan di kehidupan alam jagat raya ini. Dan semua itu tentu sudah menjadi kehendak-Nya.
Perlambang perubahan alam tak hanya terjadi di Palenggahan Ageng Srigati, tetapi alam yang ada di Alas Ketonggo juga sering menunjukan hal yang sama.
Salah satunya saat pohon jati besar yang ada di Alas Ketonggo roboh tanpa sebab. Tak ada hujan tak ada angin tiba tiba roboh. Kejadian tersebut di anggap tanda alam akan datang perubahan zaman perjalanan bangsa ini ke depan.
Selain Palengahan Srigati, Petilasan eyang Sabdopalon Noyogenggong dan kali tempur juga sarat falsafat kehidupan manusia yang tercermin dari kebesaran alam di Alas Ketonggo
Palenggahan eyang Sabdopalon Noyogenggong berjarak kurang lebih seratus meter dari palenggahan Srigati. Selain dipakai untuk ngalap berkah, palenggahan ini juga kerap untuk laku rohani bertapa.
Sabdopalon Noyogenggong dikenal sebagai pamomong. Ia merupakan abdi kinasih Raja Majapahit Prabu Brawijaya V. Sabdopalon Noyogengong di yakini pengejawantahan Sang Hyang Ismoyo, dahyang tanah Jawa yang mengasuh para ksatria tanah jawa.
Para pelaku ritual setelah melakukan pisowanan di Srigati dan Palenggahan Sabdopalon Noyogengong, biasanya dilanjutkan mandi di kali tempur.
Kali tempur adalah sungai peruwatan. Tempat bertemunya dua arus aliran sungai yang kerap dipakai oleh para pelaku ritual untuk sesuci dan membuang sengkolo ( kesialan).
Sebelum prosesi mandi di kali tempur dilakukan, lebih dulu para pelaku ritual menggelar ritual doa keselamatan, agar sarana melakukan penyucian yang bersumber dari alam memiliki daya guna, sekaligus melebur sengkala dan sukerta.
Kali tempur berjarak kurang lebih 400 meter dari Srigati, melalui jalan setapak menurun melewati tangga. Tak seperti ruwatan di masyarakat yang harus mempersembahkan sesaji komplit dan menggelar pementasan wayang kulit. Ruwatan di kali tempur hanya cukup dengan doa dan penyatuan diri manusia bersama alam sebagai sarana pelebur kesialan. / Purbangkara
